“REMNANTS”

Pameran Duo Chakra Narasangga dan Herman Priyono

Rabu 23 Oktober 2024, jam 16.00-20.00 WIB

ORBITAL DAGO @orbitaldago

Jl. Rancakendal Luhur No. 7, Bandung

Durasi pameran: 23 Okt – 17 Nov 2024

Pameran dibuka untuk umum setiap hari dan gratis

Mulai jam 9.00 hingga 20.00 WIB

Penulis: Mujahidin Nurrahman @mujahidin_nurrahman

Didukung oleh: @hybridium.id @salsebandung

Setiap manusia pernah bermimpi. Mimpi menjadi teman setia bagi manusia ketika tidur atau tidak sadarkan diri. Mimpi terjadi karena otak kita tidak pernah berhenti bekerja, sehingga manusia tidak pernah berhenti memproyeksikan ingatan, hasrat atau rasa takut dalam pikirannya. Dapat dipastikan kita tidak akan pernah benar-benar “istirahat” sepanjang hidup kita. 

Sebagian manusia berusaha untuk memaknai mimpi/ingatan, dan sebagian lain menganggap lalu mimpi-mimpinya. Kondisi psikologis sangat mempengaruhi bagaimana kita menyikapi pengalaman mimpi. Dalam kondisi psikologis yang sedang kurang baik kita cenderung memaknai mimpi secara negatif dan bisa mempengaruhi produktivitas kita.  Sebaliknya jika kondisi psikologis kita sedang mengalami euforia, maka setiap mimpi akan dimaknai positif, bahkan mimpi negatifpun akan dimaknai kebalikannya. 

Freud menyatakan terdapat dua bagian dalam mimpi, yakni manifest content atau gambaran-gambaran dalam mimpi yang dapat dilihat langsung dan latent content atau keinginan atau pikiran yang tersembunyi dan sering kali tidak disadari yang bisa menjadi pemicu munculnya mimpi.

Chakra menyatakan bahwa ingatan (manifest content) kita dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu, layaknya prasasti yang telah melalui berbagai cuaca dan peristiwa. Ada yang bertahan selama berabad-abad, begitu jelas dan membekas. Ada pula yang memudar, terdistorsi, menyisakan jejak-jejak yang penuh ketidakjelasan (latent content), menjadi limbo.

“Limbo… Ia ada dan hadir menghampiriku sebagai realitas yang tersembunyi, berbaur dalam ragam peristiwa di sekeliling kita, namun kadang kita tak menyadarinya.” (Chakra Narasangga, 2019)

Chakra mencoba memproyeksikan ingatan-ingatannya namun yang dia temukan adalah dirinya berada “ditepian/limbo”, sehingga manifestasi mimpi/ingatan yang dia hadirkan tidak lagi naratif atau figuratif, tetapi lebih terasa hasil gestur dari dalam dirinya yang mencoba keluar melalui tubuhnya, goresan-goresan pensil ataupun charcoal tampak secara otomatis mengikuti muscle memory kemana tangannya akan menuntun. Akan tetapi dalam waktu bersamaan semua ini terjadi karena otak memerintahkan seperti itu dan Chakra dengan sadar memberikan koridor agar bagian memori “yang itu” terus mewujud.

Bentuk-bentuk asing sekaligus familiar bisa kita lihat hampir disemua karya Chakra. Satu bagian hitam pekat kemudian bagian lain dibiarkan putih. Terkadang batasnya sangat tegas seperti sebuah tepian, dengan garis vertikal dan horizontal, goresan-goresan acak kesegala arah, dan bentuk bentuk menyerupai lubang yang terasa sangat organik mengingatkan penulis kepada bagian batang pohon yang sudah mulai membusuk, atau fragment-fragment benda alam lainnya seperti bebatuan atau tanah. Hal-hal tersebut berhasil membangun ketegangan dalam karya-karyanya.

Berbeda dengan Chakra, Herman yang memiliki kecenderungan gaya Surealis justru dengan yakin menghadirkan objek-objek yang berasal dari ingatannya. Namun sebelum kita bisa menelaah lebih lanjut karya-karya terbarunya, kita harus melihat karya-karya Herman sebelumnya yang cenderung diisi dengan bagian-bagian tubuh, tumbuhan, benda-benda alam dan lainnya yang tampak berdiri di sebuah “Ruang”. “Ruang” pada karya Herman adalah pijakan, sedangkan subjek yang menjadi fokus visualnya berada di tengah. Pada kesempatan pameran Duo ini Herman mengeliminasi objek-objek yang biasanya bertumpuk, menjadi satu atau dua objek saja yang tampak berada dalam “ruang” yang lebih luas. Tampaknya ini adalah usaha Herman untuk memberi jarak terhadap ingatan-ingatannya untuk melihat peristiwa yang dibayangkannya dengan lebih jelas.

Sekilas “ruang” yang dihadirkan Herman mengingatkan kita kepada M.C Escher (1898-1972), seniman asal Belanda yang kebanyakan karya-karyanya terinspirasi dari matematika, objek kemustahilan, simetris ataupun ketidakterbatasan. 52 tahun setelah kematian Escher, Herman menemukan karya dari Renato Nicolodi (lahir 1980) pelukis dan pematung asal Belgia. Sangat jelas karya-karya Nicolodi mempengaruhi karya-karya terbaru Herman. 

Penulis mencoba melihat kesamaan gaya dari Escher dan Nicolodi yang bisa dibilang sangat dekat, namun dengan logika yang berbeda. Karya Nicolodi maupun Herman memiliki keajegan batas atas dan bawah, kiri dan kanan. Namun walaupun dengan keputusan tegas memposisikan ruang dalam karya, hal ini tidak menghilangkan kesan surealis dari setiap karya-karya mereka, khususnya Herman. Komposisi ruang yang dibangun oleh beliau memberikan kesempatan kita untuk berkontemplasi, seperti bentuk pilar yang menjulang tinggi atau ruangan yang memanjang kemudian dikurung dalam frame memanjang dengan beberapa turunan kepekatan tinta dan sudut yang membulat memberikan kesan batas yang terus meluas, seperti dinding di balik dinding. 

Dari kedua seniman yang berpameran ini, kita bisa menyadari kembali bahwa ingatan-ingatan akan membentuk kita pada masa depan. Entah bagaimana caranya kita bisa mereduksi bagian mana yang kita tidak inginkan atau bagian mana yang tetap kita pertahankan.

Mujahidin Nurrahman

2024

E-katalog