Bandung Photography Triennale returns with its second edition, introducing the theme:

SYNTHETIC VISION

In an era where the boundaries between reality and fabrication are increasingly blurred by technology, images have evolved beyond representation, becoming complex visual constructs shaped by synthesis, artificial intelligence, and algorithms.

This shift not only alters visual aesthetics and epistemologies but also introduces biopolitical and necropolitical mechanisms that exert control over bodies and life through algorithmic visual surveillance. Images today serve as instruments of power—used to craft narratives, propagate ideologies, and disseminate disinformation, ultimately blurring the line between fact and fiction.

The Bandung Photography Triennale responds to this condition by presenting works that examine our evolving relationship with synthetic imagery and its impact on identity, politics, and perception in an increasingly automated visual culture.

——

Bandung Photography Triennale kembali hadir dalam edisi keduanya, dengan mengusung team

SYNTHETIC VISION

Di era ketika batas antara realitas dan rekayasa kian kabur karena teknologi, citra visual telah berkembang melampaui fungsi representasi semata—menjadi konstruksi kompleks yang dibentuk oleh sintesis, kecerdasan buatan, dan algoritma.

Perubahan ini tidak hanya menggeser estetika visual dan cara kita memahami pengetahuan visual, tetapi juga melahirkan praktik biopolitik dan nekropolitik yang mengendalikan tubuh dan kehidupan melalui pengawasan algoritmik.

Citra kini berfungsi sebagai instrumen kekuasaan—untuk membentuk narasi, menyebarkan ideologi, dan memproduksi disinformasi, yang pada akhirnya mengaburkan batas antara fakta dan fiksi.

Bandung Photography Triennale menanggapi kenyataan ini dengan menyuguhkan karya-karya yang mengeksplorasi hubungan kita dengan imaji sintetis serta dampaknya terhadap identitas, politik, dan persepsi dalam lanskap visual yang semakin terdigitalisasi dan terotomatisasi.

Bandung Photography Triennale : Orbital Dago

Synthetic Musings / Renungan sintetik

  1. Akkara Naktamna (THA)
  2. Bobby Davidson (USA)
  3. He Bo (PRC)
  4. Jim Allen Abel (INA)
  5. Zhang Xiao (CHI)
  6. Wutthichai  Ainchu  ( THA)
  7. Romina Herrera (ARG/GER)

Di era “realitas sintetik”—yakni ketika realitas banyak dimediasi, dibentuk, atau bahkan diproduksi oleh teknologi (AI, VR, AR, simulasi, deepfake, dsb.)—muncul kekhawatiran bahwa karya seni akan terjebak pada permainan bentuk, efek, dan hiperrealitas semata. Namun, justru di situlah letak peluangnya. Karya di era realitias sintetik dapat menimbulkan rasa asing, ambigu, bahkan paradoks. Dalam ambiguitas itulah penonton atau pemirsa sering dipaksa berhenti, hening, lalu merenung. Misalnya, karya seni AI yang meniru “emosi” bisa membuat kita bertanya: apakah yang kita alami itu keaslian atau proyeksi?

Karya – karya seni yang cenderung kontemplatif lahir dari cara manusia (atau kesadaran) mengolah pengalaman, bukan dari bahan mentahnya. Lukisan gua bisa kontemplatif, begitu juga instalasi berbasis AI. Jadi, meskipun medianya artifisial, nilai kontemplatif tetap mungkin hadir jika karya itu mengundang perenungan, keheningan, atau kesadaran mendalam.

Kenyataan sintetik bisa jatuh pada konsumsi instan, estetika yang dangkal, atau sebagai bentuk hiburan singkat belaka. Tetapi justru dengan menyadari sifat buatan realitas, manusia bisa diarahkan pada refleksi yang lebih dalam tentang ketergantungan kita pada teknologi, keterbatasan persepsi, dan sifat ilusi dunia. Dengan kata lain, kontemplasi tetap mungkin—bahkan mungkin lebih mendesak—di era realitas sintetik, karena dunia yang penuh simulasi justru menuntut kita untuk mencari kedalaman makna dibalik lapisan-lapisan artifisial.

Fotografi memang punya posisi unik di era realitas sintetik, karena sejak awal ia dianggap “cermin realitas.” Tapi ketika realitas itu sendiri bisa direkayasa (AI image, deepfake, CGI), maka fotografi tidak lagi sekadar “merekam” melainkan “mencipta.” . fotografi sintetik bisa sangat kontemplatif, bukan karena ia merekam kenyataan, melainkan karena ia membongkar relasi kita dengan kenyataan. 

Jean Baudrillard dalam Simulacra & Simulation (1981), menyebutkan bahwa kita hidup di “hiperrealitas,” di mana tanda dan representasi tidak lagi merujuk pada realitas, melainkan saling merujuk antar-simulasi. Dalam konteks fotografi, VR, AI, dll., pengalaman kontemplatif bisa muncul justru saat kita sadar bahwa yang kita hadapi bukan “nyata,” tapi efek dari simulasi. Kontemplasi di sini adalah kesadaran kritis: bagaimana manusia hidup dalam dunia yang lebih “sintetik” daripada realitas itu sendiri. Sedangkan jauh sebelumnya , Walter Benjamin dalam The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction (1936), ia sudah menyinggung hilangnya “aura” ketika karya seni direproduksi secara massal. Di era AI dan realitas sintetik, persoalannya lebih jauh: bukan sekadar reproduksi, tapi produksi tanpa asal. Renungan filosofis muncul ketika kita bertanya: apa yang tersisa dari pengalaman otentik? apakah aura baru bisa muncul dari sintetik?

Filsuf kelahiran Ceko,  Vilém Flusser dalam Towards a Philosophy of Photography (1983), ia menekankan bahwa teknologi “aparat” (kamera, software, algoritma ) membentuk cara kita melihat dunia. Dalam realitas sintetik, “aparat” itu adalah AI, GAN, mesin simulasi lainnya. Menurutnya kontemplasi lahir dengan menyadari bahwa kita tidak hanya mencipta gambar, tapi juga diciptakan kembali oleh “logika aparat.” Secara filosofis: renungan di era kenyataan sintetik bukan tentang mencari “yang asli” dan melawan “yang palsu,” tetapi melainkan bagaimana kita menemukan kedalaman makna di dalam ilusi yang kita hidupi.

Ketujuh seniman yang dipamerkan di Orbital Dago,  masing-masing menunjukan karya-karya foto dengan pendekatan tema yang cenderung kontemplatif dengan garapan  berbasis realitas sintetik. Banyak karya justru sangat sunyi—memperlihatkan lanskap yang tak mungkin, wajah tanpa riwayat—dan keheningan itu bisa menjadi ruang perenungan. Melalui ambiguitas karya-karya mereka, mengajak penonton atau pemirsa dipaksa berhenti, hening, lalu merenung tentang dunia yang penuh simulasi justru menuntut kita untuk mencari kedalaman makna dibalik lapisan-lapisan artifisial. (Rifky “Goro” Effendy)