Troublemaker Doppelgänger

Dzikra Afifah dan Henryette Louise

Pameran

Troublemaker Doppelgänger

Dzikra Afifah / Henryette Louise

CREATIONARY

Bagi Louise dan Dzikra, setiap proses berkaryanya berbasis pada material yang digunakan dan teknis yang dikelola. Prosesnya tidak terpacu pada suatu konsep atau gambaran konkrit yang telah diformulasikan sebelumnya. Keterbukaan terhadap ketidakpastian selama proses tersebutlah yang menentukan perilaku, keputusan artistik yang berdampak pada bentuk, struktur, konsep, hingga konteks yang terbangun. Hal yang kemudian dihadapi ialah bagaimana mengelola temuan yang berlangsung dalam proses penciptaan tidak kehilangan intensitasnya pada karya yang dianggap telah selesai digarap. Pertimbangan ini bisa jadi dan kerap tidak secara sadar dikelola dalam proses penciptaan. artinya, proses penciptaan yang demikian tidak hanya menyoal penaklukan material dan teknik, tetapi juga bagaimana interaksi dengan material membukakan cara pandang lain dalam menyikapi realitas. Pada kesadaran inilah intensitas yang mulanya berada pada proses penciptaan bisa hadir pada karya yang dianggap selesai digarap.

Karya Louise diawali dengan plaster cair yang menyusup dalam parit-parit garis drypoint kemudian lambat laun memadat hingga menjadi massa yang solid. Sublimasi yang menunjukan transformasi medium dari suatu wujud ke wujud yang lain juga mengungkap bagaimana waktu terlibat dalam proses perubahan tersebut. Sublimasi tersebut menjadi semacam gestur ‘manifestasi’ bagaimana suatu kebudayaan terus berubah. Mekanismenya dalam mengonstruksikan yang dianggap ‘’kebenaran’’ pun berubah. Secara visual dalam karya Louise, garis-garis yang membentuk gambarnya menunjukan semacam peristiwa eksplosif melalui komposisi dinamis. Karya-karya Louise memaksa kita untuk menghadapi intensitas momen atau peristiwa yang monumental akan tetapi dibangun dengan substansi yang justru kita anggap sebagai antitesisnya; ringkih dan cenderung terbentuk secara accidental atau tidak terduga. Sebagaimana memori Louise terkait Cok Bakal, Hongwilaheng, Kebo Burek ataupun transformasi material yang ia kelola dalam proses berkarya memberinya semacam logika yang setara.

Keduanya sama-sama mempengaruhi tindakan dan perilakunya. Louise menganggapnya sebagai peristiwa-peristiwa tersingkapnya realitas yang betapapun tidak pernah bisa sepenuhnya direngkuh, dipahami, dan sukar untuk dibicarakan ataupun dijelas-jelaskan, akan tetapi ia bisa diperlihatkan, disaksikan dan diungkapkan.

Dalam karya Dzikra, tanah liat yang semula plastis dengan potensi merespon segala tempaan yang diterimanya, tidak seluruhnya pasif dalam proses penciptaan ini. Ia memiliki daya hidup dalam gesturnya menerima segala tindakan membentuk. Adapun berbagai deformasi yang bersifat destruktif dalam proses ini yang diakibatkan oleh karakteristik tanah liat. Misalnya, ukuran yang menyusut ketika kadar air dalam tanah liat menguap, retakan-retakan yang muncul ketika setiap bagian dalam tubuh karya tidak kering secara bersamaan ataupun akibat proses hollowing out atau mengeruk bagian dalam tubuh karya yang semula solid menjadi kopong. Tindakan tersebut dilakukan untuk mengurangi kemungkinan udara yang terperangkap dalam ketebalan tanah liat sehingga ia bisa dibakar atau dikeramikan. Kesadaran diwilayah teknis kemudian meleburkan subjektivitas ‘saya’ yang produktif bertindak- membentuk, dengan daya transformatif medium yang mendeformasi juga cenderung destruktif. Artinya, ada dua daya atau power yang beroperasi, ‘saya’ yang membentuk dan medium yang mendestruksi.

Gestur keramik menjadi bukan persoalan yang perlu diatasi. Melalui peristiwa tersebut, gestur dari keramik justru menjadi substransi utama dalam menghadirkan intensitas yang ia raih sebagai pengalaman menemukan daya atau power yang produktif sekaligus destruktif dalam membangun peradaban yang berlangsung hingga saat ini. wujud tubuh manusia dalam karya-karyanya menjadi tidak mungkin apabila ia tetap manusiawi, utuh, lengkap dan wajar bila temuan dalam proses penciptaan karyanya menyoal power yang beroperasi secara produktif dan destruktif secara bersamaan. Tubuh-tubuh yang terlipat, terkelupas, terpilin dan saling tumpang tindih, menjadi tubuh dalam mekanisme power. Logika bentuk dalam gestur keramik menjadikan tubuh dalam realitas lain selain hal-hal yang merujuk pada identitas tertentu dan kerap melekat pada tubuh yang dianggap manusiawi. Tubuh tersebut menjadi situs dimana power beroperasi dan dioperasikan.

Baik dalam karya Louise maupun Dzikra, keduanya bermain dengan material dan asosiasi bentuk yang bermutasi menjadi sensasi, narasi dan konteks yang lebih luas. Perihal Kebo Burek misalnya, dalam tradisi jawa dan interpretasi Louise ia merupakan mahkluk yang perwujudannya diluar karakteristik manusia dan dalam ingatannya ia menjadi semacam entitas yang mempengaruhi lelakunya. Kebo yang berarti kerbau dan Burek yang berarti legap atau suram, ganjil, bahkan menyeramkan. Akan tetapi, Kebo Burek sesungguhnya ialah satu tiang dari keempat rangkaian tiang penyangga joglo. Berbeda dengan ketiga tiang lainnya, Kebo Burek sengaja dibuat miring dan difungsikan sebagai suspensi bangunan tersebut apabila terjadi gempa atau goncangan yang berpotensi meruntuhkan bangunan tersebut. Kedalaman pentingnya hal ini tidak dapat dijelaskan secara konvensional, sehingga menginspirasi terciptanya mitos untuk menangkap esensinya dan membentuk perilaku manusia dalam menyikapi esensi tersebut.

Berbeda dengan hasil karya cipta manusia lainnya yang perwujudannya artificial, kontras dengan alam, the myth cenderung tidak manusiawi. Ia serupa mahkluk yang bermetamorfosis dengan entitas alam lainnya yang tidak pernah dipersamakan dengan manusia dan justru lebih dekat dengan alam. Ketidakhadiran manusia dalam hal ini justru mengondisikan perilaku manusia dengan memanifestasi higher power ke dalam mahkluk-mahkluk. Kebo Burek yang janggal justru mengungkap obsesi manusia terhadap kepadupadanan, keselarasan atau keteraturan yang dianggap berlawanan dengan gestur alam yang chaos, tidak terduga dan sukar dikendalikan. Obsesi tersebut dianggap perlu direduksi dan diatasi melalui diciptakannya the myth. ‘Kebenaran’ dalam fenomena tersebut hingga hari ini, satu persatu terungkap dalam formulasinya yang lain, melalui sains dan teknologi ataupun filsafat dan agama. Louise dalam hal ini meraih intensitas fenomena tersebut ke dalam karyanya: mengungkap emosi kompleks perihal bagaimana kebenaran dikonstruksikan dan membangun memori serta konflik dalam dirinya.

Tubuh-tubuh dalam karya Dzikra memposisikan dirinya dalam posisi yang rentan dan ringkih. Wujudnya yang proporsional justru lebih memiliki gestur dari mediumnya yakni keramik, bukan lagi gestur manusia. Betapapun pembahasan mengenai tubuh manusia begitu kompleks, ia menggugah banyak renungan dan pemikiran. Pada prinsipnya manusia kerap merengkuh segala hal diluar kapasitasnya kedalam tatanan yang ‘manusiawi’. Sebagaimana representasi tubuh manusia kerap hadir sebagai simbol (dalam berbagai kepercayaan, agama, tradisi, dan mitiologi) merefleksikan perilaku manusia dalam mempersepsikan kehadiran higher power. Seperti halnya penggambaran Sang Hyang Widhi dalam kepercayaan Brahman, bahkan Zeus dalam mitologi Romawi kuno. Begitu juga hari ini pada kemajuan paling mutakhir sekalipun, teknologi AI terus dikembangkan agar ia memiliki kapasitas penalaran, pemahaman, dan merespon seperti manusia yang kemudian diinput pada robot humanoid. Dzikra, dalam hal ini meneruskan perilaku primal yang terwariskan tersebut dalam penciptaan karyanya sebagai gestur simbolik dalam menyikapi realitas hari ini.

Manusia mempelajari fenomena eksistensinya dengan mengobjektifikasi, pengetahuan yang diperoleh tersebut kemudian menjadi subjektvitas yang mendorong manusia bertindak. Misalnya, kapitalisme dengan obsesinya akan pertumbuhan dan akumulasi yang menganggap entitas selain manusia merupakan obyek potensial. Hal tersebut tidak hanya berdampak pada pola relasi kuasa yang membagi manusia dalam klasifikasi yang hierarkis, tetapi juga mendorong eksploitasi alam besar-besaran yang kemudian membawa kita pada era Antropocene. Implikasi relasi kuasa juga mendorong terjadinya kolonialisme dan imperealisme yang berdampak membentuk superioritas dan inferioritas. Mekanisme objektifikasi manusia berdasarkan ciri-ciri biologisnya yang dalam hal ini merujuk pada gender, usia bahkan ras dan bangsa tertentu yang kemudian menjadi semacam strategi politik untuk menciptakan subyek yang pada mulanya dibangun untuk kepentingan pengetahuan, mengatur kemudian memerintah hingga menguasai. Dampaknya ialah cara pandang stereotip, bias, ketidakadilan dan hegemoni sosial dan budaya. Pendirian dan cara pandang manusia itu sendiri lah yang menempatkan manusia pada posisi rentan.