
Bandung Photography Triennale : Orbital Dago
Synthetic Musings / Renungan Sintetis
- Akkara Naktamna (THA)
- Bobby Davidson (USA)
- He Bo (PRC)
- Jim Allen Abel (INA)
- Zhang Xiao (CHI)
- Wutthichai Ainchu ( THA)
- Romina Herrera (ARG/GER)
Di era “realitas sintetik”—yakni ketika realitas banyak dimediasi, dibentuk, atau bahkan diproduksi oleh teknologi (AI, VR, AR, simulasi, deepfake, dsb.)—muncul kekhawatiran bahwa karya seni akan terjebak pada permainan bentuk, efek, dan hiperrealitas semata. Namun, justru di situlah letak peluangnya. Karya di era realitias sintetik dapat menimbulkan rasa asing, ambigu, bahkan paradoks. Dalam ambiguitas itulah penonton atau pemirsa sering dipaksa berhenti, hening, lalu merenung. Misalnya, karya seni AI yang meniru “emosi” bisa membuat kita bertanya: apakah yang kita alami itu keaslian atau proyeksi?
Karya – karya seni yang cenderung kontemplatif lahir dari cara manusia (atau kesadaran) mengolah pengalaman, bukan dari bahan mentahnya. Lukisan gua bisa kontemplatif, begitu juga instalasi berbasis AI. Jadi, meskipun medianya artifisial, nilai kontemplatif tetap mungkin hadir jika karya itu mengundang perenungan, keheningan, atau kesadaran mendalam.
Kenyataan sintetik bisa jatuh pada konsumsi instan, estetika yang dangkal, atau sebagai bentuk hiburan singkat belaka. Tetapi justru dengan menyadari sifat buatan realitas, manusia bisa diarahkan pada refleksi yang lebih dalam tentang ketergantungan kita pada teknologi, keterbatasan persepsi, dan sifat ilusi dunia. Dengan kata lain, kontemplasi tetap mungkin—bahkan mungkin lebih mendesak—di era realitas sintetik, karena dunia yang penuh simulasi justru menuntut kita untuk mencari kedalaman makna dibalik lapisan-lapisan artifisial.
Fotografi memang punya posisi unik di era realitas sintetik, karena sejak awal ia dianggap “cermin realitas.” Tapi ketika realitas itu sendiri bisa direkayasa (AI image, deepfake, CGI), maka fotografi tidak lagi sekadar “merekam” melainkan “mencipta.” . fotografi sintetik bisa sangat kontemplatif, bukan karena ia merekam kenyataan, melainkan karena ia membongkar relasi kita dengan kenyataan.
Jean Baudrillard dalam Simulacra & Simulation (1981), menyebutkan bahwa kita hidup di “hiperrealitas,” di mana tanda dan representasi tidak lagi merujuk pada realitas, melainkan saling merujuk antar-simulasi. Dalam konteks fotografi, VR, AI, dll., pengalaman kontemplatif bisa muncul justru saat kita sadar bahwa yang kita hadapi bukan “nyata,” tapi efek dari simulasi. Kontemplasi di sini adalah kesadaran kritis: bagaimana manusia hidup dalam dunia yang lebih “sintetik” daripada realitas itu sendiri. Sedangkan jauh sebelumnya , Walter Benjamin dalam The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction (1936), ia sudah menyinggung hilangnya “aura” ketika karya seni direproduksi secara massal. Di era AI dan realitas sintetik, persoalannya lebih jauh: bukan sekadar reproduksi, tapi produksi tanpa asal. Renungan filosofis muncul ketika kita bertanya: apa yang tersisa dari pengalaman otentik? apakah aura baru bisa muncul dari sintetik?
Filsuf kelahiran Ceko, Vilém Flusser dalam Towards a Philosophy of Photography (1983), ia menekankan bahwa teknologi “aparat” (kamera, software, algoritma ) membentuk cara kita melihat dunia. Dalam realitas sintetik, “aparat” itu adalah AI, GAN, mesin simulasi lainnya. Menurutnya kontemplasi lahir dengan menyadari bahwa kita tidak hanya mencipta gambar, tapi juga diciptakan kembali oleh “logika aparat.” Secara filosofis: renungan di era kenyataan sintetik bukan tentang mencari “yang asli” dan melawan “yang palsu,” tetapi melainkan bagaimana kita menemukan kedalaman makna di dalam ilusi yang kita hidupi.
Ketujuh seniman yang dipamerkan di Orbital Dago, masing-masing menunjukan karya-karya foto dengan pendekatan tema yang cenderung kontemplatif dengan garapan berbasis realitas sintetik. Banyak karya justru sangat sunyi—memperlihatkan lanskap yang tak mungkin, wajah tanpa riwayat—dan keheningan itu bisa menjadi ruang perenungan. Melalui ambiguitas karya-karya mereka, mengajak penonton atau pemirsa dipaksa berhenti, hening, lalu merenung tentang dunia yang penuh simulasi justru menuntut kita untuk mencari kedalaman makna dibalik lapisan-lapisan artifisial. (Rifky “Goro” Effendy)
E-Katalog
Public Sculpture by Kaoru Sasahara
High Break <dari Seri Super Chair>
Pameran ini menampilkan pertunjukan di mana orang-orang duduk dan berkumpul di atas Seri Kursi Super karya Kaoru Sasahara, terlibat dalam suatu bentuk interaksi sosial yang lebih tinggi.
Lahir di Tokyo, Jepang pada tahun 1997, Sasahara menciptakan patung dengan mengubah bentuk benda-benda sehari-hari yang familiar dan menghilangkan fungsi aslinya. Melalui proses ini, ia menawarkan kepada para pengunjung sebuah interpretasi ulang atas struktur spasial dan lingkungan. Ciri khasnya: “Seri Kursi Super”, terdiri dari meja dan kursi dengan kaki yang sangat panjang, sehingga secara fisik mustahil untuk diduduki.
E-katalog