SEJENGKAL KURANG SEDEPA pameran tunggal Nandanggawe
Nandanggawe, seniman yang dikenal sejak 1990-an banyak terlibat dalam gerakan-gerakan akar rumput seni rupa di Bandung , terutama masa-masa sebelum , menjelang dan sesudah reformasi 1998. Karya-karyanya, baik drawing , lukisan , instalasi, maupun performans selalu mengangkat persoalan realita sosial-politik termasuk soal nilai-nilai manusianya. Tak Lelah ia mengelupas lapisan-lapisan nilai keburukan yang ada pada diri manusia, selalu protes dan curiga kepada bentuk kemapanan. Direpresentasikan melalui munculnya grotesk tubuh-tubuh manusia yang buruk rupa, tercabik-cabik, mengerang kesakitan, berteriak dan seterusnya. Mungkin seperti bisa setara ketika kita saksikan tumpukan korban-korban berkelindan diantara reruntuhan di Gaza saat ini.
Sosok Nandanggawe mewakili seniman yang selalu punya daya merespon situasi dan kondisi masyarakat disekitarnya, dengan menghadirkan banyak kejutan-kejutan dalam kerja artistik dan eksplorasinya. Selalu menemukan bentuk-bentuk simbol diluar dugaan yang mengejutkan, yang secara menyeluruh mencerminkan keliaran, kesuraman, pikiran-pikiran atau batin yang terpuruk digerus mesin – mesin kapitalis dan politik orba. Ia mewakili perjuangan berat kaum masyarakat golongan “bawah” untuk terus bertahan dan bangkit dari gempuran jaman.
Pada pameran tunggal kali ini seniman Nandanggawe menampilkan karya-karya dari beragam medium seperti drawing, lukisan dan juga instalasi yang menggunakan berbagai material dan objek keseharian seperti potongan kayu-kayu, besi, potongan lempengan seng yang berkarat, buntelan atau bungkusan karung dan lain sebagainya. Dengan judul; SEJENGKAL KURANG SEDEPA, ia mengangkat gagasan mengenai “Kepulangan“ menuju “rumah” di “kampung halaman”, suatu tempat yang hampir imajiner; ada dalam ingatan namun samar. Mengandung jarak yang tidak bisa diukur dengan logika pikiran tetapi ada di alam batin yang mendalam. Disitulah ada rasa kerinduan yang tidak bisa tersampaikan dengan verbal.
Keterlibatannya dengan seni performans, sepertinya membawa pengaruh kepada eksplorasi karya-karya yang meruang atau instalasi. Nandanggawe menggantung dengan menjejerkan berbagai benda keseharian dalam instalasinya , mengungkapkan narasi melalui objek. Instalasi dengan assemblage dari benda – benda temuan tersebut mungkin baginya mengingatkannya pada benda-benda yang selalu digantung pada tiang kayu rumah yang sederhana. Termasuk ingatan sebagian kecil orang kepada suasana dapur dirumah di desa yang semakin jarang ditemui: berlantai tanah dengan deretan perabotan masak yang termakan umur, dindingnya kehitaman akibat jelaga dari tungku masak, disudut ada tumpukan kayu bakar, gentong tanah liat yang berisi beras, bahan baku masak dan lain sebagainya serta aromanya yang khas. Temaram tapi bersahaja. Tak dipungkiri ia memasukan unsur-unsur perenungan nilai-nilai mistis selain relijiusitas dalam pameran kali ini, dengan melihat kembali warisan pengetahuan orang – orang tua.
Rangkaian drawing dan kolase terbarunya memperlihatkan perubahan citra , dari yang cenderung gelap menuju lebih terang walaupun masih terasa pergulatan. Citraan drawing sureal seperti sulur-sulur atau akar yang melilit badan mahluk-mahluk ganjil, dengan kemahiran menggambar hitam – putih dengan komposisi pejal, berubah menjadi lebih ringan dengan kemunculan warna oker pada beberapa bagian gambarnya, serta membiarkan kosong atau tipis dibeberapa bagian bidang kertasnya. Dengan kemunculan citra mahluk-mahluk sureal yang didasari bentuk jamur, keong , ulat dan serangga lainnya, melilit pada benda-benda seperti bongkah pohon, besi beton dan lainnya, drawing- drawing Nandaggawe cenderung mengarah kepada hubungan manusia dengan alam sekitar yang semakin memburuk dan tak – seimbang akhir-akhir ini. Begitupun, lukisan media campuran dengan menempelkan tiang kayu serta tempelan buntelan – buntelan, memperlihatkan kemunculan citra-citra seperti organisme yang berkecambah yang berkelindan dengan objek serta citra tali-tali . Bagi Nandaggawe berbagai benda keseharian disekitar bisa saja menjadi mahluk-mahluk yang bermutasi, bersilang menjadi rupa yang ganjil.
SEJENGKAL KURANG SEDEPA merupakan metafor bagaimana sesungguhnya dalam upaya menemukan “rumah” ia masih merasa masih jauh secara pemahaman. Lebih simbolik terkait ketubuhan , yang bisa diartikan “hidup berhutang pada banyak mimpi dan sesuatu yang diidealkan…” juga menuju pemahaman seni secara lanjut. Diakui Nandaggawe gagasan karyanya kali ini berangkat dari masa pandemic covid 19 lalu yang membawanya pada pencarian “jalan pulang” tersebut. Masa-masa dimana kita masih mengingat jelas dan mengalami pada peristiwa yang berdampak pada segala aspek kehidupan global, segala sesuatu gerak fisik dibatasi , kota-kota modern seketika senyap kosong melompong, menjadi citra absurd dan apokalipstik. Kita “dirumahkan” secara paksa ditengah mobilitas yang tinggi abad 21.
Tetapi “rumah” yang dibayangkan Nandaggawe lebih merasuk jauh ke dalam alam batin , bisa rumah masa kecilnya yang mungkin berkelindan dengan rumah yang dibayangkan melalui cerita-cerita buku atau citraan melalui foto dan sinetron atau film. Ter-idealisasi dengan kenangan – kenangan masa lalu yang menyenangkan , ketika belum ada beban hidup. Rumah juga menjadi suatu metafor tujuan ideal untuk kembali menggali nilai-nilai kesenian warisan masa lalu, menjelajahi narasi-narasinya walau tak-paham benar maknanya. Nandanggawe mungkin sedang mengangkat berbagai narasi yang hampir terlupakan dan kembali disuarakan kepada kita sekarang ini, melalui objek-objek antropologis; benda – benda keseharian yang terserak disekitar kita. (Rifky “Goro” Effendy)
Tinggalkan Balasan