Pameran Tunggal
Lena Guslina
26 Juni – 14 Juli 2024
Di Orbital Dago
What was to go on canvas was not a picture but an event. (Harold Rosenberg, 1952)
Melukis langsung dari jari-jemari mungkin mengingatkan kita pada cara melukis maestro ekspresionis seni lukis Indonesia Affandi, selain melukis dengan cara “plototan” yang langsung dari tube cat. Atau mengingatkan pada maestro abstrak ekspresionis pelukis dunia, Jackson Pollock yang dikenal dengan cipratan-cipratan dan lelehan-lelehan cat dari kuas ke permukaan kanvasnya atau kelompok seniman Gutai di Jepang. Lena Guslina sebagai penari yang telah dikenal dan malang – melintang dialam dunia seni tari, mampu menciptakan lukisan abstrak dengan cipratan-cipratan melalui jemarinya ,yang diatur sedemikian rupa dan penuh kendali sehingga menghasilkan pola-pola abstrak yang berlapis dan berongga. Cara melukis Lena mungkin dikenal dengan “Gestural Abstraction” yang artinya menggunakan gerak anggota tubuh ketika menciptakan lukisannya dan hal tersebut terekam lewat karya-karyanya. Istilah ini mencuat ketika Pollock melukis abstraknya yang melibatkan gestur tubuhnya untuk menciptakan lukisan-lukisannya.
Pada pameran tunggalnya kedua ini, Lena menghadirkan karya-karya lukisan yang mengeksplorasi teknik lukisannya lebih lanjut. Masih didasari dengan teknik menciprat cat dengan jari tangan – seperti pada yang ditampilkan pada pamerannya pertama di Galeri Pusat Kebudayaan Bandung. Namun kali ini bukan diatas hamparan bidang kanvas, tetapi diantara jalinan pola dari benang-benang nilon yang diregang pada pigura-pigura kayu. Melalui jemarinya, cipratan-cipratan cat akrilik yang diatur sedemikan rupa , membentuk seperti serat atau benang-benang, menumpuk dan menempel pada pola benang sehingga cat akrilik membentuk pola-pola abstrak dengan permainan warna-warna dan menerawang. Tak berhenti disitu, Lena juga kemudian menggarap bagian sisi dibaliknya, sehingga “lukisan” tersebut bisa dilihat di kedua sisinya.
Mengenai istilah “Gestural Abstraction” diatas mengacu pada bagaimana membuat karya, sebagai sebuah proses, bukan sebuah gerakan seni lukis. Dengan lukisan gestur abstrak, intinya bukanlah apa yang dilukis, tapi adalah bagaimana hal itu dilukis. Daripada mengaplikasikan cat ke permukaan dengan cara yang terkontrol dan terencana, pelukis gestur biasanya mengaplikasikan cat secara intuitif, fisik, dengan menetes, menuangkan, memerciki, menyeka, membuang, menyemprot, atau apa pun. Jenis cat tidak menjadi masalah, dan tidak menjadi masalah apa lagi selain cat yang menempel di permukaan. Hal ini justru bertolak belakang dengan cara Lena yang penuh kendali, mengatur intensitas ketebalan, menerapkan warna-warna ketika mencipratkan catnya.
Menyangkut dengan pamerannya berjudul Titian Tubir, Lena mengungkapkan “ ada Titi diantara tubir (jurang), Titi artinya jembatan, Menyiapkan titi untuk melintasi tubir (jurang) kehidupan. Benang nilon berarti juga realita, warna- warna itu mewakili pikiran dan perasaan untuk menemukan misteri . Tubir itu tebing yang berada dipaling pinggir, seperti rongga dalam karya ini membentuk rongga-rongga yang ringkih dan menerawang “. Lukisan-lukisan Lena menjadi simbolik dan itu menjadi perbedaan besar dengan abstrak ekspresionis, dimana sebagai suatu metode melukis saja, walaupun pada prosesnya bisa saja melibatkan emosi sang seniman.
Sehingga pada karya-karya Lena ada dua tantangan untuk kemudian bisa diapresiasi, selain kita menghadapi olahan teknis yang kompleks, dimana jalinan serat dari akrilik membentuk pola-pola dengan tumpukan warna-warna pilihannya, dan melalui rongga – rongga yang membentuk permainan dimensi ruang pada tetapi juga bagaimana elemen-elemen tersebut menjadi simbol-simbol tertentu personal untuk Lena. Sebagai praktisi tari kontemporer, tubuh telah menjadi bagian penting, pun dalam melukis; telapak tangan , jemari dan gerakannya yang diatur sedemikian rupa menjadi penting. Kekonstanan dalam memercikan cat yang ritmis, dan terkendali memberikan makna simbolik dari elemen rongga-rongga, lapisan-lapisan, tekstur hingga warna dan juga permukaan yang menerawang. Seperti yang diungkapkan Lena, bahwa kerapuhan serat akrilik yang menyangkut diantara regangan benang nilon, penumpukan cat, serta batas bidang persegi menjadi bagian tubuhnya atau performativitas. Tubuh sebagai elemen utama dalam aksi melukis dan juga suatu peristiwa dalam penciptaan menjadi metafor yang termaterialisasi melalui setiap elemen pada tiap lukisannya.
Dalam catatan kuratoralnya; “ Performance Art : Painting and Performance”, Kirstie Baven dari Tate Museum, mengungkapkan “ “..dalam mempertimbangkan materialitas cat, para seniman (pelukis performans) secara kreatif mengeksplorasi potensi cat sebagai media, di luar kapasitasnya untuk menghasilkan citra yang representatif secara visual. Pada saat yang sama, tindakan melukis dieksplorasi sebagai sarana ekspresi kreatif. Oleh karena itu, para seniman dan karya seni mereka berbicara tentang cara rumit di mana cat, dan lukisan, tidak hanya berfungsi sebagai media visual, tetapi juga sebagai media performatif.”
Kekaryaan Lena Guslina juga memberikan jalan lain bagi seni lukisan abstrak khususnya di Bandung yang sedang mendapat perhatian. Walaupun baru menggeluti dunia seni lukis, ia seperti sedang menunjukan bagaimana ia berupaya menemukan ruang spasial dalam praktek seni lukis yang menurut catatan kurator Asmudjo J. Irianto dan Jajang Supriyadi dalam e-katalog pameran “Bandung Painting Today “ , di Grey Art Gallery , Bandung, bulan April 2024 lalu. Bahwa dalam era seni lukis kontemporer, cukup sulit mencari karakter khas perkembangan seni lukis dalam satu wilayah yang memiliki cukup banyak pelukis, seperti kota Bandung. Seperti juga wilayah lain yang menjadi pusat praktik seni, seperti Jakarta, Yogyakarta dan Bali, akan menunjukkan pluralitas seni lukis. Seni lukis di wilayah-wilayah tersebut makin berkembang. Hal ini terutama disebabkan seni lukis tidak menjadi medium-specificity.
Lena Guslina memperlihatkan bahwa medium seni lukis yang kemudian digabung dengan disiplin seni pertunjukan (tari) menyodorkan tawaran lain didalam praktek seni lukis khususnya seni lukis abstrak di Bandung. Sampai saat ini , yang menurut Asmudjo, seni lukis abstrak masih menjadi bagian dari seni lukis kontemporer Bandung. Menariknya lukisan-lukisan abstrak tersebut tidak semata-mata self-referential, melainkan juga dipengaruhi aspek eksternal (sebagaimana terlihat dari statement pelukisnya). Lena Guslina lahir di Bandung tahun 1977, sejak masa kecil sudah bergabung pada tari tradisi di Sanggar Raden Oni Martsuta. Lalu melanjutkan ke Sekolah Tinggi Seni Indonesia atau sekarang menjadi ISBI , tahun 1995. Sejak itu ia terjun ke dunia seni tari, ia juga sering diundang untuk menari pada acara – acara seni rupa dan menjadi model para pelukis seperti (Alm) Jeihan, Sunaryo dan lainnya. Pada tahun 2022 ia berpameran lukisan secara Tunggal di Galeri Pusat Kebudayaan (dulu YPK) Bandung.
(Rifky “Goro” Effendy) E-katalog https://issuu.com/orbitaldago/docs/ekatalog_titiantubir
Tinggalkan Balasan