WELCOME TO THE MACHINE Genics Defragmented

posted in: PAST EXHIBITION | 0

The ‘new vision’ is thus the revelation of what the unaided eye cannot see but which has ever existed ; as more powerful tools for observation are built, more worlds of form are revealed. – Beaumont Newhall

Pada peralihan abad 19 ke 20, dampak dari revolusi industri terhadap praktek senisemakin signifikan. Tawaran teknologi, instrumen, sekaligus permasalahannya menjadi daya tarik untuk direspon oleh para praktisi seni. Persilangan dan intervensi antar medium pun menjadi salah satu alternatif eksperimen pada praktek seni mulai saat itu. Ketika Antonio G. Bragaglia di tahun 1911 berkarya dengan metode fotografi yang spesifik Fotodinamismo Futurista sontak mendapat perhatian dari praktisi seni visual karena menampilkan kesan dinamis pada citra diam. Bragaglia menerapkan teknik fotografi stroboscopic multi exposure dengan menggunakan lampu kilat berkecepatan tinggi. Karya Bragaglia pun menginspirasi para seniman di Paris yang kemudian dielaborasi menjadi gaya Futurisme. Lukisan yang cukup terkenal berjudul Nude Descending A Staircase dari Marcel Duchamp di tahun 1912 pun diakui terstimulasi oleh karya Bragaglia. Hibridisasi dalam medium seni juga menjadi tahap eksperimen berikutnya seperti; overdrawing pada foto Oster Brik (1924) karya Alexander Rodchenko dan The Constructor (1924) karya El Lissitzky yang cenderung menyerupai printmaking.

Art is the tool of universal progress. El Lissitzky, 1922

Fotografi yang dilahirkan di abad mesin secara langsung mewarisi genetika dan sifat “mesin”nya. Kinerja optik, mekanik, kimia, hingga teknologi digital yang kental dengan sifat reproduksi menjadikan karya berbasis fotografi cukup sulit untuk memiliki aura dan otentisitas seperti halnya seni lukis. Tapi hal tersebut justru menjadi tantangan seni dan senimannya untuk mengurai DNA setiap genetika media visual guna membangun otentisitas medium, termasuk fotografi. Esai Walter Benjamin yang menyoal karya seni di era reproduksi mekanis bisa dibilang memberi tawaran lain pada dunia seni perihal menyikapi media—fotografi—yang berkarakter indeksikal dan reproduktif.

Dalam praktek seni berbasis fotografi hari ini, kecerdasan seniman mengurai dan membentuk kembali genetik medianya menjadi poin penting dalam proses berkarya. Sifat materialitas dan imaterialitas yang dimiliki oleh fotografi juga dimanfaatkan sebagai sarana hibridisasi dengan sifat atau karakter medium yang lain. Karya-karya yang dilahirkan oleh praktisi seni saat ini pun tidak hanya berkutat di wilayah representasi permasalahan sosial, tetapi juga memuat kritik dalam tubuh medium itu sendiri. Teknologi yang terus berkembang akhirnya juga selalu mengintervensi proses elaborasi kekaryaan seni berbasis fotografi dalam memutakhirkan wacana kritik dan mediumnya. Kondisi ini menuntut keluwesan seniman untuk berkelindan secara simultan dengan sistem yang berbau industri serta otomatisasi mesin.

Pada pameran ini kita bisa melihat bagaimana genetik dan DNA fotografi dibongkar menjadi beberapa fragmen lalu kemudian dilakukan defragmentasi kembali serta dikolaborasikan dengan medium seni lainnya. Permasalahan intervensi teknologi terhadap persepsi, memori dan medium masing-masing seniman dikritik dengan lugas melalui tindakan hibridasi yang cukup kentara dalam konsep dan pesan di dalamnya. Terdapat semacam keresahan, gugatan juga kritik maupun otokritik yang tersirat jelas pada karya-karya dalam pameran ini.

Asmudjo J. Irianto mengangkat persoalan antroposen yang menunjukan bahwa  aktivitas manusia memiliki pengaruh global terhadap ekosistem bumi. Kehidupan manusia yang memiliki sistem artifisialnya sendiri terkadang memiliki irisan dengan ekosistem bumi, tapi tidak jarang terjadi penghancuran diri di kedua belah pihak. Asmudjo J. Irianto memilih pendekatan straight photography yang dikonfigurasikan dengan penggunaan material abrasif secara jelas menggarisbawahi permasalahan tersebut. Sedangkan karya Oco Santoso merefleksikan gugatan terhadap persoalan citraan pada era digital saat ini yang justru membiaskan ingatan dan narasi tanda. Dengan menggunakan pendekatan sinematis yang dituangkan dalam citra diam, penumpukan memori dalam satu bingkai memberi efek distorsi dan chaos pada karya Oco Santoso. Masih dalam koridor era digital, Willy Himawan menyoal tentang mekanisme transformasi citra fotografi dengan menambahkan teknik overpaint pada cetakan foto lalu didematerialisasi menjadi data digital. Kemudian data tersebut diwujudkan dalam material kembali dengan format yang berbeda melalui kanal digital.  Dikdik Sayahdikimullah dalam karyanya mencoba mempertemukan ide tentang ketidak-terbatasan pemikiran manusia dengan keterbatasan teknologi yang sekadar bergantung pada data. Dikdik Sayahdikumullah menggunakan bio-landscape personal sebagai representasi dari ketidak-terbatasan, kemudian diformulasikan dengan proses ekstrapolasi menggunakan alat deteksi realitas sederhana. Proses tersebut menghadirkan transfigurasi kisi-kisi visual yang menghasilkan photomontage. Patriot Mukmin mengangkat fenomena genre lukisan mooi indie dan prinsip ‘Tri Mutti’nya dengan metode merobek, memisahkan, mengurai lalu kemudian digabung kembali untuk mendapatkan makna visual yang baru. Patriot Mukmin menganyam sebuah lukisan bergenre mooi indie dengan cetakan fotografi dari jepretan lansekap yang berkarakter similar untuk menghasilkan hibridasi visual sebagai ekspresi estetikanya. Lalu Angga Aditya Atmadilaga menyikapi karya fotografi dalam koridor seni grafis yang menganut cetak tinggi dan cetak dalam, menampilkan visual kontras sebagai bagian dari manifestasi gelap-terang. Dengan menambahkan material tembus pandang yang ditoreh dan membentuk bayangan, Angga menekankan ambivalensi cahaya-bayangan serta hitam-putih.

Defragmentasi genetika medium fotografi dengan media lainnya menjadi signifikansi dalam karya-karya di pameran ini. Tujuan penyampaian pesan sebagai prioritas utama dalam berkarya justru membongkar batasan setiap medium dan membuka ruang-ruang eksperimen serta eksplorasi tanpa batas seperti yang  terefleksikan  oleh karya-karya di pameran ini.

Henrycus Napitsunargo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *